Bukan hal yang
aneh jika Indonesia selalu tertinggal dalam optimalisasi teknologi informasi
baru, karena Indonesia selalu diliputi berbagai kekhawatiran dan ketakutan apabila
munculnya fenomena baru dibidang teknologi. Akibatnya, Indonesia selalu
terlambat dalam mengantisipasi masukannya Fenomena baru ini, baik dari segi
teknologi, sumber daya manusia, terlebih perangkat hukum.
Dalam
“mengonsumsi” produk, konsumen selalu menginginkan adanya kepuasan terhadap
produk yang dikonsumsinya. Sedangkan pelaku usaha cenderung menginginkan untuk memperoleh
keuntungan ekonomis dari hubungan itu. Keinginan kedua belah pihak tersebut
akan mudah untuk dicapai apabila keduanya melaksanakan kewajiban secara benar
dan dengan dilandasi itikad baik.
Perserikatan
Bangsa-Bangsa dalam Refolusinya No. 39/248 Tahun 1985 memeberikan rumusan
tentang hak-hak konsumen yang harus dilindungi oleh pengusaha. Rumusan hak-hak
konsumen ini didasarkan atas hasil penelitian yang cukup lama terhadap 25
Negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Adapun hak-hak konsumen yang
dimaksud adalah:
1. Perlindungan
konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanan.
2. Promosi
dan perlindungan dari kepentingan social, ekonomi konsumen.
3. Tersedianaya
informasi yang memadai bagi konsumen.
4. Pendidikan
konsumen.
5. Tersedianya
upaya ganti rugi yang efektif.
6. Kebebasan
untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dam
memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya
dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.
Berikut pula UU No.8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
dalam Pasal 4 telah mengatur hak-hak konsumen yang meliputi :
1. Hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa.
2. Hak
untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang dan jasa tersebut sesuai
nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3. Hak
atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan jasa.
4. Hak
untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan jasa yang digunakan.
5. Hak
untuk mendapat advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
6. Hak
untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
7. Hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur tidak diskriminatif.
8. Hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau penggantinya, apabila barang atau
jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagai mana
mestinya.
9. Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perudang-undangan lainnya.
Apabila
diperhatikan denga lebih seksama, hak-hak konsumen sebagai mana di sebutkan
dalam UU No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen terkesan hanya terbatas
pada aktifitas perdagangan yang sifatnya konvesional. Di samping itu,
perlindungan pun hanya difokuskan pada sisi konsumen dan produk yang
diperdagangkan. Sedangkan perlindungan dari sisi produsen/pelaku usaha, seperti
informasi tentang identitas dan alamat/tempat bisnis data-data milik konsumen
diabaikan. Pada hal-hal tersebut sangat penting diatur untuk kemanan konsumen
dalam bertransaksi.
Begitu pula apabila kita memperhatikan Ketentuan Umum Pasal 1
Angka 6 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen, pengertian
promosi tidak dapat disebutkan secara jelas media apa yang dipakai dalam
melakukan promosi ini apakah termasuk di dalamnya media internet atau tudak.
Pasal 1 Angka 6 No.8 tahun 1999 menyebutkan “Promosi adalah kegiatan pengenalan atau
penyebarluasan informasi suatu barang dan jasa untuk menarik minat beli
konsumen terhadap barang dan jasa yang akan dan sedang di perdagangkan”. Oleh
karena itu, beranjak dari masih banyaknya materi-materi yang belum diatur maka
sudah saatnya apabila materi-materi tersebut dipertimbangkan untuk dimuat dalam
ketentuan yang baru.
Organisation for Economic
Co-operation and development (OECD) telah memberikan rekomendasi yang dapat
dipakai sebagai pedoman dalam pembentukan suatu ketentuan baru tentang
Perlindungan konsumen dalam transaksi perdagangan dengan mempergunakan e-commerce, di dalamnya antara lain
diatur tentang transparansi serta perlindungan yang efektif bagi konsumen sama
seperti dalam transaksi lain (konvensional), praktik-praktik bisnis, promosi
dan pemasaran yang sehat, tersedianya informasi yang akurat dan jelas baik
mengenai barang atau jasa, mengenai transaksi, serta segala aktivitas berkenaan
dengan transaksi e-commerce yang
dilakukan oleh produsen.
Pada dasarnya instrument
perlindungan hokum konsumen dalam suatu transaksi perdagangan di wujudkan dalam
dua bentuk pengaturan, yaitu perlindungan hukum melalui suatu bentuk perundang-undangan
tertentu yang sifatnya umum untuk setiap orang yang melakukan transaksi dan
perlindungan hukum berdasarkan perjanjian yang khusus dibuat oleh para pihak,
dalam bentuk substansi/isi perjanjian antara konsumen dan produsen, seperti
ketentuan tentang ganti rugi, jangka waktu pengajuan klaim, penyelesaian
sengketa, dan sebagainya.
Di antara kedua bentuk perlindungan hukum di atas, maka
perlindungan hukum melalui ketentuan perundang-undangan (regulasi) merupakan
istrumen/sarana yang paling efektif digunakan mengingat perundang-undangan
dapat dijadikan dasar bagi kedua belah pihak dalam pembuatan perjanjian serta
pemerintah melalui perangkatnya dapat memaksakan pemberlakuan undang-undang
tersebut.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan pemerintah perlu turut
serta dalam memberikan perlindungan ini, yaitu :
1. Untuk
melindungi kepentingan konsumen dan produsen.
2. Menghindarkan
berkembangnya prkatek-praktek bisnis curang/tidak sehat.
3. Menciptakan
keterbukaan/transparan.
4. Menciptakan
iklim berusaha yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi baik secara makro
maupun mikro.
Sebagaimana
telah dikemukakan di muka bahwa e-commerce memiliki karakteristik tersendiri
apabila dibandingkan dengan transaksi konvensional/tradisional. Akibatnya,
ketentuan tentang perlindungan konsumen dalam perlindungan konsumen dalam
transaksi yang sifatnya konvensional tidak dapat diterapkan secara penuh dalam
transaksi melalu e-commerce, sehingga
dalam upaya memberikan perlindungan hukum bagi konsumen dalam transaksi ini
perlu kiranya diberikan pedoman (guidelines)
tentang materi-materi apa saja yang perlu dicantumkan dalam ketentuan yang
baru.
Penting
juga untuk diketahui beberapa prinsip yang harus ditegakkan dalam penegakan
hukum perlindungan konsumen adalah sebagai berikut :
1. Menegakkan
larangan yang dikategorikan sebagai tindakan pelaku usaha yang dapat menghambat
perdagangan.
2. Laranan
bagi tindakan pelaku usaha yang mengakibatkan berkurangnya persaingan
mengandung hak setiap anggota masyarakat untuk diperbolehkan menjalankan setiap
aktivitas ekonomi.
3. Larangan
yang memungkinkan pelaku usaha untuk tidak memberikan pilihan bagi konsumen.
Larangan ini ditujukan supaya pelaku usaha tidak mengupayakan adanya kegiatan
produksi dan pemasaran.
Pedoman yang
perlu diperhatikan dalam penerapan
perlindungan konsumen dalam transaksi perdaganan melalui e-commerce dapat dibagi dalam empat bagian :
1. Dari
sisi produsen/pelaku usaha;
Kedudukan
produsen dalam hubungannya dengan transaksi perdagangan relative lebih kuat
apabila dibandingkan dengan konsumen. Salah satu bukti kuatnya kedudukan itu
adalah produsen berada pada pihak penyediaan produk sedangakan konsumen berada
pada pihak yang membutuhkan produk, sehingga apapun yang ditentukan oleh
produsen sepanjang konsumen membuthkan produk itu maka konsumen akan
menyetujuinya, sehingga lahirlah bentuk-bentuk kontrak baku yang menonjolkan
prinsip take it or leaves it.kuatnya
kedudukan produsen sedapat mungkin harus diawasi karena tanpa pengawasan maka
dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen.
Oleh
karena itu, dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen dalam transaksi
melalui e-commerce, maka perlindungan
terhadap konsumen dapat diberikan dalam bentuk :
a. Pemberitahuan
indetitas produsen/pelaku usaha secara jelas yang meliputi alamat tempat
berusaha (termasuk e-mail), telepon, jenis usaha yang dikelola, apabila
memiliki pabrik, perkebunan atau tempat pengolahan lainnya maka dicantumkan
alamat pabrik,perkebunan dsb;
b. Apabila
produsen/pelaku merupakan kantor/perusahaan cabang harus diberitahukan alamat
kantor/perusahaan induknya.
c. Memiliki
ijin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang untuk menyelenggarakan
bisnisnya.
2. Dari
sisi konsumen;
Konsumen
sebagai pihak yang membutuhkan produk seringkali sebelum mulai melakukan
transaksi diharus untuk memberikan informasi yang lengkap mengenai identitas
diri atau perusahaan (apabila konsumennya adalah perusahaan). Hal yang wajar
apabila produsen berkepentingan atas informasi tersebut karena melalui
informasi inilah produsen dapat menilai kredibilitas konsumen, apakah konsumen
adalah pembeli yang sungguh-sungguh atau tidak.
Sebaliknya,
apakah ada jaminan bahwa data diri/identitas konsumen tidak digunakan oleh
produsen seperti untuk pengiriman brosur pemasaran perusahaan. Padahal konsumen
sangat memperhatikan aspek keamanan dan kerahasiaaan dari informasi pribadinya
dalam on-line transaction.untuk
melindungi konsumen dari penyalahgunaaan informasi maka peerlu adanya jaminan
dari produsen bahwa data/identitas konsumen tidak akan dipergunakan secara
menyimpang diluar peruntukannya tanpa seijin konsumen.
3. Dari
sisi produk (barang dan jasa);
Informasi
produk sangat penting diketahui oleh konsumen, karena melalui informasi ini
konsumen dapat mengambil keputusan untuk melakukan transaksi atau tidak.
Tingkat pengenalan konsumen pada produk yang akan dibeli bermacam ragamnya,
bagi konsumen yang mengetahui produk maka informasi produk tidak begitu
pentingkarena akan dijadikan pelengkap saja, tetapi sebaliknya bagi konsumen
yang tidak tahu maka pengenalan produk sangat penting karena kesalahan dalam
memilih produk dapat merugikan konsumen.
Di
beberapa Negara sudah ada pengaturan mengenai promosi yang ditujukan bagi konsumen
anak-anak, hal ini disebabkan anak-anak kadang kala mengalami kesukaran dalam
memahami produk apa yang dimaksud dalam promosi tersebut. Sehingga penjual
harus melakukan tindakan/perlakuan khusus terhadap suatu produk atau
penggunaanya yang ditawarkan pada anak-anak guna menghindari salah pengertian.
4. Dari
segi transaksi;
Perlu
diketahui bahwa tidak semua konsumen paham dalam melakukan transaksi melalui
media internet, sehingga produsen perlu mencantumkan dalam website-nya informasi yang jelas dan lengkap mengenai mekanisme
transaksi serta hal-hal lainnya berkenaan dengan transaksi, seperti:
a. Syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh konsumen dalam melakukan transaksi;
b. Kesempatan
konsumen dalam mengkaji ulang transaksi yang akan di lakukan sebelum mengambil
keputusan, hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan adanya kesalahan yang dibuat
oleh konsumen;
c. Harga
dari produk yang ditawarkan, apakah sudah termasuk pajak atau belum, termasuk
ongkos kirim atau belum;
d. Mata
uang apa yang dipakai;
e. Bagaimana
mekanisme pengiriman barangnya (dikenal adanya berbagi sistem pengiriman
barang);
f. Produsen
harus menyediakan suatu rekaman transaksi yang setiap saat bisa diakses oleh
konsumen yang didalamnya memuat segala sesuatu berkenaan dengan transaksi yang
sedang/telah dilakukan. Hal ini penting untuk kepentingan pemuktian apabila
dikemudian hari timbul sengketa;
g. Informasi
mengenai dapat/tidaknya konsumen mengembalikan barang yang sudah dibeli,
apabila diperkenankan, bagaimana mekanismenya;
h. Apakah
diberikan jaminan penggantian barang atau penggantian uang, apabila produk yang
diterima tidak sesuai atau rusak;
i.
Mekanisme penyelesaian sengketa;
j.
Jangka waktu pengajuan klaim yang wajar;
Demikian
sebagian materi yang perlu diatur dalam ketentuan perundang-undangan mengenai perlindungan
konsumen dalam transaksi dengan mempergunakan e-commerce, diharapkan dengan
terlindunginya konsumen dapat meningkatkan lalu lintas perdagangan baik secara
kualitas maupun kuantitas, yang mana semua ini akan bermuara pada peningkatan
pertumbuhan ekonomi baik secara mikro maupun makro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar